Sebut Saja Aku Anjing!

Setiap sore hari aku melihatnya, jemari-jemari lentik itu begitu lembut membelai bulu halus piaraannya.  Dia terkekeh, bibirnya yang manis menebar pesona gelenyar di dadaku. Melihat binatang berbulu piaraannya itu berguling-guling manja di bawah kakinya, makin membuatnya gemas. Lalu dia akan menggendong dan menciuminya. Sungguh membuatku iri, menjadi anjing piaraannya.

Seringkali aku menikmati pemandangan itu di depan halaman rumahnya. Tidak, aku tidak menghampirinya. Aku hanya berani mengintip dari balik jendela kaca kamar, rumah kami memang bersebrangan. Padahal kalau pun aku mau, bisa saja aku datang ke rumahnya lalu berbasa-basi pada ibunya, menanyakan apa ada genteng bocor yang ingin dibetulkan, atau kran air yang mampat atau sekedar memotong rumput halaman belakang rumah mereka. Hingga menjaga dan menemani si putri cantik mereka, tatkala si Ibu harus pergi beberapa jam karena pekerjaanya. Itu sudah menjadi pekerjaanku, serabutan mengerjakan apa saja. Membantu orang yang kerap membutuhkan tenaga kasarku,  lalu aku akan melakukan perintah mereka dengan giat dan cekatan, walaupun begitu aku rela diupah berupa apa pun dan berapa pun. Itulah mungkin, penyebab tidak ada satu gadis pun yang mau aku dekati, selain aku juga tidak bisa berkata-kata dengan jelas, kantongku juga tidak tebal. Sangat lah sulit mereka perdayai, sebab aku tak  bermodal bagi mereka.

Sudahlah, lupakan perempuan-perempuan bertopeng itu, lagi pula aku tidak tertarik pada dada dan paha mereka, yang kerap kali mereka jadikan umpan menjerat laki-laki seumuranku. Itu menjijikan.

Aku lebih suka memandang dan berdekatan dengan putri kecil, apalagi ketika kerap aku dititipi untuk menjaga dan bermain bersamanya. Sungguh membuatku bahagia.

Lalu aku akan menjadi anjing peliaraannya, berpura-pura mengaum dan menggigitnya. Ini juga yang kerap aku pertanyakan pada Tuhan, kenapa aku tidak dijadikannya anjing saja, agar dia selalu mengelus rambutku, dengan lembut, kemudian aku akan mengendus persis seperti anjing dan menggesekan kepala ku ke dadanya, yang mungil dan mulai kuncup meranum. 'Akh, rasanya itu membahagiakan hatiku.

Aku menikmati pemandangan gerakan sang putri nan jelita itu dari jauh. Ini lebih bisa membuatku leluasa berkhayal. Menikmati setiap gemulai kakinya melangkah, senyum mungil dan tawa renyahnya begitu pesona bagiku.

Entahlah, bagiku putri nan jelita berumur 10 tahun itu begitu membuat aku terkesima, apalagi saat ini dia hanya mengenakan celana pendek sebatas pertengahan pahanya, yang  lebih mirip celana pantai, dengan full warna-warni bercorak bunga lalu hanya mengenakan singlet putih polos. Merekah, begitu murni, tanpa polesan apapun. Tidak seperti gadis -gadis dewasa seumuranku, yang kerap merombak muka mereka menyerupai topeng. Semua hanya penuh kepalsuan. Mereka mengumpan lawan jenisnya dengan topeng mereka, lalu menjebaknya hingga habis-habisan, menyerahkan apa yang lawan jenisnya miliki, termasuk hati dan cinta. Lalu mereka akan mengikatnya dalam sebuah ikatan yang bernama pernikahan. Hingga tekuras seluruh keringat dan isi dompetnya.

***

Aku terlonjak kaget, ketika pintu depan rumahku diketuk-ketuk. Rupanya aku sudah berhayal begitu dalam, hingga tidak sadar seseorang datang mencariku.

Ibu si putri nan jelita memanggilku, beliau hendak pergi sebentar ada keperluan mendadak katanya. Menitipkan rumah dan si putri yang tidak mau ikut serta, padaku. Aku mengangguk, patuh. Lalu kerumahnya.

Kini hanya kami berdua, aku dan si putri nan jelita. Aku menuntunnya masuk ke rumah, Lalu dia berbaring di lantai berkarpet di ruang tengah, menyetel dan menonton TV. Aku mengajaknya bermain anjing-anjingan seperti biasanya. Saat putri nan jelita memanggilku,

“ Anjing sini..!” maka aku akan mulai mengendu-endus kakinya, tangannya. Lalu dia akan cekikikan tertawa geli.Namun kali ini keberanianku muncul, untuk mengendusnya lebih dari batas tangan dan kakinya. Tapi ke paha dan dadanya, aku tahu putri nan jelita itu mulai risih. Tapi aku tidak memperdulikannya, aku justru membekap dan menindihnya. Dia mulai meringis, saat sebelah tanganku mengelus bagian pahanya. Dia meronta, bekapanku semakin kuat.

“Anjing pergi!”

“Anjing pergi!” Dia berteriak.

Aku semakin liar, birahiku memuncak.

Tidak berapa lama dari kejadian itu, beberapa polisi datang menangkapku. Kemudian mereka menyebutku sebagai pedofilia, padahal aku lebih suka jika mereka menyebutku sebagai Anjing. Anjing bagi si putri nan jelita.

******###**

Note:

Pedofilia adalah gangguan seksual yang berupa gairah seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun. Pasien setidaknya berusia 16 tahun atau lebih tua 5 tahun dari korban. Menurut media massa, pedofilia lebih dikenal sebagai aksi pelecehan anak.

*cerita ini adalah bentuk kebencian saya pada kaum pedofilia.

Tweet