NONI

Noni melihat ke arah luar jendela mobilnya. Macetnya jalanan sudah menjadi konsumsi yang lumrah bagi warga Jakarta, termasuk dirinya. Apalagi saat bertepatan dengan jam pulang kerja seperti ini.

Lagu ‘I surrender'dari lengkingan merdu Celine Dion menemaninya dalam jebakan macet.
Sesekali jari-jarinya memainkan cincin berlian yang menghiasi jari tengah tangan kanannya. Cincin berlian yang baru saja ia beli siang tadi, setelah makan siang bersama kawan-kawannya. Berlian seharga 40 juta itu dibelinya dengan iseng, tanpa perencanaan.

Diambilnya sebuah cermin kecil, dari dalam tas limited editionnya dengan merk kenamaan, yang dia tempatkan di jok sebelah dirinya.
Pantulan wajah dengan riasan sempurna, dipandangnya beberapa saat. Wajah dengan bibir manis nan seksi, dan mata bulat yang indah, inilah yang membuat dia mampu membeli berlian mahal itu dengan iseng.
Iseng? Mengeluarkan uang puluhan juta dibilang iseng? Noni menyunggingkan senyumnya, sinis. Menertawakan nasibnya selama ini, yang ia rasa begitu lucu, namun sebelah hatinya terasa kosong.
***
Ingatannya kembali menerawang pada 15 tahun yang lalu, usianya masih belia saat itu. Namun keluguannya dulu, membuat dia harus menyandang status single parent. Karena Laki-laki yang dulu pernah ia kagumi, justru memperkosanya di pematangan sawah, di tengah malam buta setelah mengajaknya menonton wayang orang. Hingga kini laki-laki itu raib, entah di mana. Lahirlah Zahrana. Hingga kini putrinya itu tidak pernah mengenal siapa Ayah biologisnya. 

Sampai usia Zahrana menginjak satu tahun, Noni memutuskan mengikuti rayuan Agency, yang kala itu menawarkan pekerjaan sebagai pelayan restoran di kota Metropolitan ini. Noni bercita-cita ingin merubah nasibnya, nasib Ayah-Ibunya dari kemiskinan.
Berangkatlah ia meninggalkan desanya, dengan seribu harapan bahwa Jakarta bisa mewujudkan mimpinya.  Namun, kembali keluguannya dimanfaatkan orang-orang picik. Bukan di sebuah restoran, dia bekerja, tapi sebuah pub. Meski awalnya dia menolak, namun akhirnya dia hanya bisa pasrah menjalani profesi itu.
Mami Par, perempuan berdarah oriental seumuran ibunya, pemilik pub itu memake-over dirinya. Sehari setelah ia baru saja tiba di Jakarta, oleh bantuan stylish salah satu salon kecantikan ternama.
Mami Par juga, yang mengajarinya pelan-pelan bermetamorfosis dari gadis desa yang lugu menjadi perempuan yang mampu beradaptasi, bagaimana bersikap melayani kenakalan beberapa lelaki hidung belang.
Hingga nasib baik mempertemukan dirinya dengan Bapak -salah satu petinggi di negeri ini- di sebuah pesta, saat Noni menemani salah satu tamunya, yang sengaja membokingnya keluar pub. Tentu saja atas seijin Mami Par, dan ia mematok harga lebih mahal pada tamu itu.
Bapak meminta nomor ponsel dirinya, lalu hubungan berlanjut dan akhirnya, Bapaklah yang mengeluarkan dirinya dari pub Mami Par.
Melihat jabatan yang dimiliki Bapak cukup punya pengaruh besar pada keamanan usahanya, Mami Par pun tak berkutik atas keluarnya Noni dari pubnya.
Intensitas pertemuan diam-diam dalam satu minggu sering Noni lakukan bersama Bapak. Hanya saja Noni tidak pernah merasakan indahnya berlibur di akhir minggu bersama pasangan, sebab Bapak harus bersama keluarganya. Keadaan itu sudah ia tahu betul.
Noni tidak pernah memprotes tentang apapun pada Bapak, semua ia jalani dengan pasrah. Sebab ia sadar betul bahwa hanya dengan cara itu, dia akan bisa mewujudkan semua impiannya. Toh, selama ini Bapak memfasilitasinya dengan kemewahan yang lengkap. Apartemen di kawasan elit, mobil pribadi yang nyaman, dan jatah belanja bulanan dirinya lebih dari cukup.
Bahkan dia bisa memiliki beberapa investasi, salah satunya ia berkirim uang pada orang tuanya di kampung, untuk  membeli sawah dan membangun rumah.
Hingga dirinya pun masuk pada sebuah komunitas perempuan sosialita, tak lain karena campur tangan Bapak.
Namun sayangnya, kebersamaan dengan Bapak hanya bertahan 5 tahun. Bapak memintanya baik-baik perpisahan itu, demi karir dan kredibilitasnya, tentu saja. Bapak merasa hubungan itu telah tercium oleh istrinya.
Lagi-lagi Noni  tidak memprotes dan tak ada penuntutan apapun darinya, Noni paham betul siapa dirinya bagi Bapak.  
****
Berselang tak lama dari perpisahan itu, sahabatnya memperkenalkan dirinya dengan Adi, seorang pengusaha muda yang kaya. Tentu  bukan urusan yang sulit bagi Noni, membuat Adi jatuh ke dalam pelukannya.
Adi tidak pernah tahu masa lalu Noni, masa lalu bahwa sudah ada Zahrana.Yang Adi tahu dia adalah perempuan aktif dikalangan sosialita, kala itu.
Sepuluh tahun sudah pernikahannya dengan Adi. Kini ia telah memiliki Rafael, anak itu tumbuh sehat dan pintar. Lengkap sudah kebahagiaannya terlihat di mata orang-orang. Dia memiliki rumah tangga yang bahagia, kemewahan berlimpah, dan Rafael yang sehat. Apa lagi yang kurang?
*****
Lamunannya tersentak buyar, saat kaca jendela mobilnya di ketok-ketok dari luar, oleh seorang anak perempuan. Menawarkan tisu dan air mineral padanya.
Noni tertegun sebentar melihat anak itu. 
Usianya barangkali seumuran Zahrana, pikirnya.

“ Air mineralnya saja, satu ya, Dek”

Noni memberikan selembar uang 50 ribuan, tanpa meminta kembaliannya. Tentu saja membuat girang bukan kepalang, bagi anak perempuan asongan itu. Berkali-kali anak asongan itu berterimakasih, dengan senyum yang mengembang. Senyum yang begitu tulus dihadiahkan padanya, oleh anak yang seumuran Zahrana.
Ada rasa yang tiba-tiba menyesakkan, mata Noni berembun seketika.
Rindu. Ya, kerinduan yang amat besar yang dia pendam dalam-dalam, Yang kerap menyeruak memenuhi dadanya. Rindu pada anak perempuannya.
Seperti apa Zahrana sekarang, mungkin Zahrana sudah gadis, Noni membatin.
Apakah Zahrana juga sama memiliki senyum yang merekah, dan tulus seperti anak perempuan tadi?
Meskipun selama ini dia lancar berkomunikasi dengan keluarganya di kampung, namun tidak sekalipun dirinya  pernah berbicara degan Zahrana.
Zahrana dengan keterbelakangan mentalnya, membuat susah anak itu berkomunikasi dengannya atau pun orang lain, apalagi hanya lewat sambungan telepon saja.
******
Diambilnya ponsel dari dalam tasnya, beberapa tombol angka dipijitnya.

“Bu,  Aku ingin Ibu dan Ayah datang berkunjung ke sini. Nanti saya urus tiket keberangkatannya.”

“Bu... Zahrana dibawa sekalian, ya?”

“Ndak apa-apa, nanti saya akan bicarakan dengan Mas Adi perihal kedatangan kalian.
Zahrana… Ibu bilang saja dia adikku.”

Noni merindukan mereka.

Pembicaraan tadi semakin membuat dadanya sesak. Air matanya berlinang perlahan, menangisi kemunafikannya selama ini. Kemunafikan yang bisa ia tutupi dari semua orang, tapi tidak dari dirinya sendiri.
Sebagai seorang perempuan, seorang Ibu yang melahirkan Zahrana, hatinya kerap merindukan anak itu.
Namun Noni harus tetap menutup rapat rasa itu, dari Adi. Dari kawan-kawannya, dari orang-orang yang dikenalnya sekarang. Jika tidak, bisa saja semua kebahagiaan yang kini dimilikinya hancur berantakan. Apa kata orang nanti, apa kata kawan-kawannya dalam komunitas sosialitanya nanti. Noni tidak bisa membayangkannya.
Harga yang sangat mahal memang, untuk semua mimpi tentang kehidupan indah, menurut orang lain.
Noni mengahapus air matanya, menyapukan bedak samar-samar ke wajahnya. Kembali dirinya berusaha menguatkan hatinya.

Kakinya langsung menginjak gas Chevrolet Camaro merahnya. Namun sayangnya, Noni tidak menyadari dari arah kanan lampu merah, sebuah mobil bis oleng tanpa arah menerobos lampu merah. Tepat di tengah persimpangan jalan, Noni terhenyak menyadari muka bis itu sudah menerjang mobilnya. Tubuhnya terpelanting beberapa meter, menjebol kaca depan mobilnya. Seluruh tubuhnya bersimbah darah. 
"Maafkan, ibu Nak..."
Wajah Zahrana bayi, ada di pelupuk matanya.
Sore itu, Noni menjadi bahan berita korban meninggal kecelakaan lalu lintas.

#######*****######
*Maaf, jika ada kesamaan dalam  nama.

0 Response to "NONI"