Rangkaian bunga dan beberapa ucapan selamat juga masih terpampang di depan kantor-kantor beberapa instansi, teruntuk Sang Ibu Suri.
Bahkan semacam sebuah" pesta untuk rakyatnya", katanya. Sudah dipersiapkan dan tersebar keseluruh penjuru pelosok desa. Hingga sampailah pada sebuah desa, Dadap namanya. Sayangnya gaung kegembiraan pesta itu tidak sampai di sana, telinga dan mata mereka hanya mendengar "kemarahan" ombak seluruh pantainya, termasuk beberapa dari puluhan anak sd itu. Karena jarak sekolah mereka hanya beberapa meter saja dari pantai. Menunggu menit, jam, hari, mereka akan kembali berteriak -kali ini tanpa skenario- " Dimana nanti kita akan bersekolah?" *menulis bagian ini, sesak rasanya dada emak.
Lalu, Sang Ibu suri? Rupanya kemarahan pantai Dadap begitu senyap di area Pendopo, mungkin karena bangunan pagar yang terlalu tinggi dan hampir mentupi seluruh gedung. Atau mungkin... Sang Ibu Suri masih larut dalam euforia dan kebusungan dadanya atas Adipura? Ini pertanyaan besar! (Saya hanya bisa menebak-nebak). Sehingga beberapa lembar yang bertuliskan suara dari rakyatnya terbengkalai diatas meja kerja warisan Dinasti Kakanda.*menulis dibagian ini, emak mengelus dada.
" Duhai Sang Ibu suri, lihatlah mata bening anak-anak sd itu. Tak lagi bening, Bu.
Mata itu itu nanar, bersiaga!
Takut tiba-tiba sang ombak membuat mereka tak lagi bisa mengikat tali sepatunya,ke esokan hari.
Takut tak lagi bisa menyalami punggung tangan Bapak dan Ibu guru
Lihat..! Dan datanglah ... Duhai Ibu Suri,
Berhentilah memberi pemanis buatan pada senyummu, karena singsingan lengan bajumu, kami butuh!"
Coretan prihatin emak ketjeh, Taiwan 29 juli 2016.
Keren mba
ReplyDeleteMakasi mas
DeletePusing bacanya, ini tuh berita atau puisi sih?
ReplyDeleteKalau pusing mending nggak usah dibaca , pak hehehe
DeleteKasian nanti matanya juling...
jangan peduliin orang mba biarin kita kritik dengan cara kita toh memang kaya gitu kenyataannya
ReplyDelete