Diskriminasi Kadiv Imigrasi Madiun pada TKI yang Menjadi Viral

Seperti yang pernah diceritakan oleh sahabat saya, Aiyu Nara, pada sebuah acount facebook milik pribadinya. Berdasarkan pengalamannya pada tanggal18 Agustus 2016. Karena kebetulan beliau sedang mengambil cuti dari kontrak kerjanya di Hongkong, sebagai tenaga kerja Indonesia alias TKI. Namun karena bertepatan paspor miliknya sudah sampai batas limit, maka beliau pun harus memperpanjangnya. Karena beliau warga Madiun, maka beliau pun harus mengurusnya di Imigrasi Madiun, Jawa Timur, yang beralamat di Jl. Panglima Sudirman Caruban Madiun, Jawa Timur.
Masih menurut apa yang dia ceritakaan di status facebooknya, setelah beliau mempersiapkan beberapa data diri, sebagai pelengkap persyaratan yang diperlukan, pembuatan perpanjangan paspornya di imigrasi tersebut. Seperti:
1. KTP
2. KK
3. AKTE KELAHIRAN
4. IJAZAH
5. SURAT NIKAH/ CERAI
6. SURAT CUTI DAN KONTRAK KERJA (dari negara penempatan, jika ada).

Kemudian  beliau pun mendapat nomor antrian dari custumer service untuk interview dan foto.
Saat itu, tepat setelah jam makan siang dan inilah  awal mula diskriminasi profesi tki itu terjadi, di ruang Kadiv.

Saat Profesi Didiskriminasi

"Ini adalah pengalaman pertama saya memperpanjang paspor. Kebetulan saya sedang cuti, maka saya memilih memperpanjang paspor di Indonesia.
Setelah mengambil nomer antrian saya bertanya kepada customer servis yang bertugas, apakah persyaratan yang saya bawa sudah cukup. Customer servis kemudian menyuruh saya mengcopy semua dokumen, masing-masing 1 lembar. Khusus untuk paspor 2 lembar, yaitu pada halaman depan dan halaman permit kerja. Sengaja saya tidak mengcopy di rumah. Saya ingin tahu berapa tarif yang dipatok untuk foto copy di situ. Tarif per lembarnya adalah Rp 500,-. Karna ada 11 lembar maka saya harus merogoh kocek Rp 6.500,-

Dokumen yang telah saya copy lalu saya berikan kepada customer servis kembali. Dan saya diberikan nomer antrian untuk interview dan poto. Waktu itu pukul 10.12 dan saya mendapat nomer B0051. Waktu antrian setelah makan siang.

Kurang lebih 1 jam saya menunggu, tibalah giliran saya. Di ruang poto nomer 1, saya harus interview, dengan staff yang bernama Rusdi. Saya duduk di depan pak Rusdi untuk memulai sesi foto dan wawancara. Tapi setelah melihat saya, pak Rusdi lalu berkata

"Mbak, silakan ganti baju berkrah dulu. Bisa menyewa di kantin."

"Kenapa mesti berkrah, Pak? Setahu saya menurut Undang-undangnya cuma diwajibkan memakai pakaian yang rapi."

"Kalau untuk TKI memang biasanya seperti itu, Mbak. Mbak kalau mau komplen silakan langsung ke Kadivnya di ruang sebelah sana."

Ditantang seperti itu, datanglah saya ke ruang kerja Kadiv yang dimaksud.

"Ada apa, Mbak?"

"Pak, tadi saya tidak diperbolehkan poto paspor pakai baju ini, yang tidak ada kerahnya."

"Peraturan di depan bagaimana, Mbak?"

"Maaf, saya kurang lihat tadi. Ada atau tidak pemberitahuan soal poto harus pakai baju berkrah. Karna setahu saya, syarat poto paspor adalah berpakaian yang rapi."

"Kita ke depan ya, Mbak. Dilihat bareng-bareng biar enak. Mbak tadi dapat antrian di ruang berapa?"

"Ruang 1, Pak."

"Oke, Mbak tunggu di sini sebentar ya."

Kadiv itu lalu menuju ke ruang 1 dan berbicara dengan pak Rusdi. Setelah beberapa menit Kadiv itu kembali mememui saya.

"Mbak bisa poto sekarang, gak papa."

"Baik, trimakasih, Pak."

DI RUANG POTO NOMER 1

Di sela-sela interview resmi.

"Mbak kerja di mana?"

"Hongkong."

"Pekerjaannya apa, Mbak?"

"Domestic worker, pekerja rumah tangga."

"Oh, saya pikir Mbak karyawan atau staf apa gitu."

Setelah selesai interview dan foto.

"Ini hasil fotonya, Mbak. Gak sama kan dengan buku paspor lama, ada krahnya ini, lebih rapi."

"Sama saja, Pak. Krah baju bukan ukuran sebuah kerapian."

"Ya sudah, nanti kalau di bandara ada apa-apa karna fotonya begini, bukan salah saya ya, Mbak."

Pak Rusdi lalu merapikan dokumen saya, lalu mengajak saya pergi.

"Ikut saya ke dalam dulu, Mbak."

Saya mengikuti pak Rusdi dari belakang.

DI RUANG KADIV DISKRIMINASI PROFESI ITU TERJADI

Pak Rusdi menyerahkan dokumen saya ke Kadiv.

"Ini, Pak."

"Silakan duduk, Mbak."

Kadiv mempersilakan saya duduk setelah menerima dokumen dari pak Rusdi.

"Mbak ini pekerjaannya apa?"

"Saya buruh migran, Pak. Pekerja rumah tangga."

"Oh, saya pikir Mbak ini karyawan atau staf kedutaan. Kok tadi berani komplain soal baju."

"Saya kan cuma mengutip isi Undang -undang, Pak. Bahwa tidak ada syarat yang menyebutkan kalau harus pakai baju berkrah. Yang penting kan rapi."

"Begini, Mbak, memang tidak ada dalam  peraturan kalau harus pakai krah. Kalau menurut Mbak sudah rapi, ya gak papa. Saya pikir Mbak tadi bukan TKI."

"TKI bukan TKI, kan gak ada bedanya, Pak. Semuanya sama."

"Ya beda dong, Mbak. Kaya saya dan Mbak itu berbeda. Jadi gak bisa semaunya sendiri."

"Di Hongkong tidak ada aturan harus pakai krah, Pak. Yang penting rapi, sudah."

"Itu kan luar negri, Mbak. Gak sama dong, kita ada di Indonesia, Mbak. Jadi ikut aturan Indonesia."

"KJRI itu masih masuk dalam sistem pemerintah Indonesia kan, Pak."

Saya masih tetap bertahan dengan argumen saya, dan sepertinya pak Kadiv tidak menyukainya. Introgasi masih dilanjutkan dengan beda topik.

"Mbak ini proses perpanjang paspor sendiri ya, gak ada pengantar dari PT?"

"Gak ada, Pak. Saya kan udah gak ada ikatan sama PT lagi. Kontrak baru pun saya urus dari sana."

"Jadi sudah ada kontraknya, ya."

"Ya sudah ada, Pak. Kalau gak ada kontrak bagaimana saya bisa memperpanjang paspor."

"Ya  ya ya. Kontraknya sampai kapan, Mbak?"

"2 tahun, Pak. Bisa dicek di permit kerjanya."

Pak Kadiv lalu membuka lembar halaman dimana permit ditempel.

"Sampai Desember 2016, ya, Mbak?"

"2018, Pak. Coba dicek lagi. Desember 2016 adalah batas kapan saya harus masuk ke Hongkong lagi."

Dalam hati saya berfikir, seorang Kadiv kok gak bisa membaca permit kerja.

"Di halaman belakang itu ada pengantar dari imigrasi Hongkong yang menyatakan bahwa saya harus memperpanjang paspor untuk mendapat visa baru. Bisa dicek kalau masih belum yakin."

Dan begitulah, setiap pertanyaan pak Kadiv selalu  saya patahkan. Tentu saja dengan penjelasan yang logis dan berdasar. Dalam hal ini saya sangat berterimakasih kepada IMWU yang telah membekali saya dengan pendidikan dan pengetahuan.

Kejadian tersebut menyiratkan bahwa status TKI hanya dipandang sebelah mata. Mereka sudah tidak bisa adil terhadap TKI sejak dalam pikiran. Namun bukan hal itu saja "pelecehan" yang saya terima. Salah seorang staf bertanya kepada saya."

"Mbak, kenapa betah kerja di luar. Di sana punya pacar ya?"
##

Dan entah sampai kapan, diskriminasi dan pelecahan itu terus dialami, oleh TKI, yang mereka sebut Pahlawan Devisa?

0 Response to "Diskriminasi Kadiv Imigrasi Madiun pada TKI yang Menjadi Viral"