Hari minggu tanggal 7 Agustus, tepat sepuluh hari yang lalu. Jik saja tidak terhalang oleh kewaijban sebagai buruh, rasanya ingin sekali saya berada di sana, Museum National Taiwan. Bersama mereka para sahabat, yang begitu bersemangat dengan mengepalkan tangan di dada, berbangga hati melantunkan lagu kebesaran Indonesia Raya.
Bersatu padu, bergengaman tangan untuk memperlihatkan pada tuan rumah di mana mereka mengais rejeki sebagai kaum apalah-apalah (semoga mereka tidak marah dengan penganalogian pada kata ’buruh’ menjadi apalah-apalah ini). Tapi sayangnya hari itu Tuhan berkendak lain, saya diijinkannya hanya menyaksikan semangat mereka dari balik layar kaca berukuran 8inch, di sudut sebuah kamar. Namun cukuplah emosiku terbawa haru riuhnya semangat mereka, berusaha untuk tidak termewek-mewek lebay di samping tumpukan popok dan selang urine pasien lansia. Menyaksikan, betapa mereka dengan begitu mempesona berparade, satu persatu menampilkan bakat dalam keaneka ragaman seni dan budaya warisan leluhur bangsa Indonesia.
Sama sekali tidak terlihat nama aku, beta, inyong atau wo di sana, yang ada adalah nama bangsa Indonesia. Tersorot ratusan kamera, termasuk beberapa dari media lokal, baik cetak maupun layar .
Reog ponorogo yang begitu mempesona, tari Yapong yang lincah, dangdutan yang menggoyang seluruh penonton, bersatu dalam balutan bendera bangsa besar, Merah Putih. Sebab, mungkin hanya itu batas pemahaman mereka tentang arti cinta dan nasionalisme pada negara. Ya, meski hanya itu batas pemahaman mereka, aku (kami), kaum apalah-apalah untuk membangun negeri sendiri, adalah dengan membawa harum nama bangsa di negeri orang. Betapa mereka menunjukan, bahwa bangsa akan terlihat besar jika bersatu. Negara akan kaya jika diperjuangkan oleh bersama.
Maka saya sangatlah yakin, acara yang begitu luar biasa meriah itu, telah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan matang dan penuh pengorbanan. Baik waktu maupun materi, oleh anak-anak bangsa yang bernasionalisme tinggi. Usut punya usut panitianya adalah BEM UT Taiwan.Mereka adalah teman-teman yang sama seperti saya (lagi, kaum apalah –apalah), hanya saja mereka lebih punya kesempatan nyambi mengecam pendidikan di Universitas terbuka Taiwan. Serta dukungan penuh dari Briliant Time library yang digawangi Mr.Chang dan kawan-kawannya. Selaku Lemabaga masyarakat yang kerap menyuarakan suara-suara buruh (kami). Supaya bisa bekerja dengan nyaman, beribadah dengan leluasa, dan tidak ada lagi diskriminasi perbedaan kepercayaan karena minoritas .
Wacana yang Ironis
Namun, selang sehari setelah mata ini melihat kemeriahan dan gegap gempita semangat Nasionalisme kaum apalah-apalah, Ironis rasanaya begitu mata ini disuguhi wacana dari negeri tercinta, yang berbanding terbalik. Saat sebuah forum entah dari golongan mana (maksudnya, jika mereka benar mengatas namakan sebuah forum keagamaan, agama mana yang mengajarkan provokasi kebencian semacam situ), begitu garang menabuh genderang Makar, dalam packaging Religiusitas. Mencatut ajaran agama hanya untuk menuding seseorang/ golongan lain yang tak sepaham, dengan judgment yang tak layak. Melupakan landasan negara, melupakan ke aneka ragaman suku dan ras.
Sehingga sebagai orang yang awam, saya tergelitik untuk bertanya,
‘Memakai tafsiran dalil dengan ekstrimisme dalam menegakan ajaran agama, lalu melenyapkan heterogenitas kepercayaan antar suku, Apa itu benar sebuah perjuangan, untuk membela agama dan negara?
Sedangkan jelas-jelas, negara ini saja bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Apakah itu benar-benar pembelaan untuk agamnya, atau hanya mencatut tafsiran kaidah yang terkandung dalam kitab suci untuk kepentingannya pribadi? *entahlah, mungkin ini hanya hati dan Tuhan mereka saja yang paham.
Mengingat 17Agustus tapi melupakan jasa Pahlawannya
Kemudian tepat hari ini, di usia Indonesia yang sudah sepuh, 71 tahun. Semoga mereka (segolongan kaum ekstrim itu) masih mengingat dan ikut larut dengan hiruk pikuk lomba makan krupuk, meriahnya panjat pinang atau gelak tawa balap karung. Semoga, mereka tidak sibuk mencari tafsiran untuk mengeluarkan fatwah ‘haram’, untuk Emak-emak yang saling tubrukan saat lomba tarik tambang. Sebab jika saja itu terjadi maka tidak hanya terjadi makar religiusitas saja di negeri ini, namun perekonomian negara juga terguncang, dengan gulung tikarnya penual-penjual daster batik di Pekalongan, Tanah abang dan Solo (Ini doa dari golongan PEPDBI/Persatuan Emak Pecinta Daster Batik Indonesia)*lha apa korelasinya, Mak? Wis alah, mboh! Poko e bentuk protes.
Kembali pada momen 17an ini, masihkah mereka ingat pada jasa para pahlawan yang bertaruh nyawa demi kemerdekaan, yang kini mereka ikut rasakan juga. Ingatkah dengan nama besar Pattimura, Yos Sudarso atau WR. Supratman di mana karya besarnya, Lagu Indonesia Raya sering mereka nyanyikan?
akh, semoga lagu itu mengingatkannya, bahwa nama besar Pahlawan-pahlawan itu, ikut pula menumpahkan darahnya, untuk bumi yang mereka pijak, untuk tanah yang mereka sujudi. Kapanpun mereka mau ketika menyembah Tuhannya, melakukan ritual keagamannya. Lantas, masihkah tidak bisa berkaca?
bagaimana mereka bisa menikmati semua kekayaan alam negerinya? Jika, masih saja provokasi kebencian antar suku gencar diteriakan?
Apakah perlu disampaikan pada mereka, supaya bisa belajar arti Nasionalisme dari kaum Apalah-apalah di negeri seberang itu?
Bukankah mereka menyatakan, bahwasannya mereka segolongan cendekiawan?.
*Dirgahayu Republik Indonesiaku,
Semoga rakyatmu semua bisa benar-benar bersatu dan Merdeka!
Celotehan Emak keceh, Taiwan 17 Agustus 2016.
0 Response to "Antara Nasionalisme Kaum Apalah-Apalah dan Makar Religiusitas Golongan Ekstrim"