Tak lagi Seimbang

Hari ini adalah satu tahun kepergian Bapak pada sang Khalik dalam hitungan jari Mamak. Dan semalam, beliau menelponku. Ini di luar kebiasaan dan itu membuat saya langsung berpikir pasti ada apa-apa. Biasanya saya yang selalu menelpon beliau, sudah tentu karena biaya tarif telepon interlokal  lebih mahal jika dari Indonesia ke Taiwan. 
Benar saja, nada suaranya panik dan sedih. Maka daripada kepanikannya bertambah karena  pasti beliau akan kepikiran biaya  pulsa telpon, saya bilang padanya untuk mematikan telepon dan saya akan telepon balik. 
Ternyata, Mamak sedang galau dengan rencana acara tahlilan utuk bapak sore hari ini. Katanya, tikar-tikar dan karpet belum terkumpul, semua masih di rumah kakak saya sedangkan kakak saya belum juga datang. Belum lagi adik saya yang sekarang tinggal di luar kota pun belum  sampai. Itu membuat kepanikannya menjadi, apakah anak bungsu laki-laki  satu-satunya itu bisa pulang atau tidak? Padahal waktu aku sms ke adik, 'apakah dia sudah mengabari Mamak, bahwa dia memastikan akan pulang atau tidak' adik saya bilang justru sudah menelponya. Sedang saat itu dia sedang dalam perjalanan pulang bersama  istrinya. Namun Mamak masih saja mengadu dan terus mengulang tentang keresahan dan kesedihannya, mengharapkan saya ada disanapun itu hal yang paling tidak mungkin. Padahal masih menurut ceritanya pula,  urusan mengantar undangan semua sudah beres ditangani anak saya, yah meski terbilang masih anak-anak tapi anak saya sudah terbiasa mandiri dan terbilang sudah mampu membantu Mamak saya, apalagi kalau sudah melihat Mamak sakit- sakitan, istilahnya sudah bisa sedikit menjadi wakil saya menjaga Mamak (akh, part ini sebenarnya merasa tambah bersalah)
Kembali pada persoalan perasaan Mamak, usut punya usut sebetulnya kesedihan mamak bukan seutuhnya khawatir anak- anaknya tidak akan pulang,karena itu sangat tidak mungkin. lha wong jarak  rumah kakak saya dengan rumah Mamak hanya dipisahkan lebarnya jalan raya tok, kok. Tapi beliau masih kekeuh dengan kesedihannya, khawatir acara tahlilan hari ini tidak bisa terlaksana,  Mamak bilang sekarang dia sudah tidak bisa kemana-kemana naik motor lagi. Apalagi untuk belanja kepasar membeli kebutuhan acara tahlilan tersebut, tenaganya sudah tak mumpuni. Padahal  menurut beliau, hanya dengan  tahlilan mengundang  beberapa orang itu, adalah cara beliau mewakili dirinya mengirimkan doa pada suaminya, Bapak saya. Karena Mamak sadar akan kemampuan dirinya yang tidak bisa membaca huruf-huruf alquran. Maka jangan pernah berdalil di depan Mamak saya bahwa  tahlilan itu bid’ah, bisa- bisa saya dikutuk seperti malin kundag dan jadi anak durhaka. Maka saya pun sebisanya menenangkan beliau, bahwa adik dan kakak saya pasti datang, karena masih ada setengah hari untuk mengurus acara itu jadi masih ada waktu. Mulailah perlahan nada suaranya sudah tak sepanik sebelumnya. 
Sebenarnya saya paham, kesedihan mamak lagi-lagi tidak seutuhnya tentang datang atau tidaknya adik dan kakak saya, tapi lebih kepada beliau sekarang merasa sendirian, sepeninggal Bapak. Dulu meskipun anak-anaknya sudah tinggal dirumah masing-masng, tapi masih ada Bapak yg bisa beliau ajak berunding kalau ada apapun. Beliau hanya sedang mencoba menutupi rapat kesedihanya akan kehilangan Bapak dari kami, anak-anaknya. Beliau hanya berusaha tegar, meskipun tanpa disadarinya justru kerapuhan yang semakin tampak seiring usianya yang bertambah sepuh 😥. Yaah..., walaupun dulu mereka bukan pasangan yang selalu harmonis dan kerap ada pertengkaran, namun perjalanan usia pernikahan yang berpuluh tahun pasti tidak akan mudah begitu saja melunturkan rasa cinta Mamak pada almarhum Bapak. Barangkali lebih tepatnya lagi, Mamak sekarang merasa hidupnya tak lagi seimbang sepeninggalnya Bapak. Begitu juga aku, Mak.😥

0 Response to "Tak lagi Seimbang"